Senin, 02 Juni 2008

MANAJEMEN PENDAMPINGAN

Mengapa perlu Manajemen dalam proses pendampingan ?

Suatu proses pendampingan terjadi ketika ada dua pihak yang berinteraksi yakni kelompok masyarakat yang belum berkembang dengan lembaga atau pendamping yang punya kepedulian untuk membantu pengembangan kelompok masyarakat tersebut.

Dalam banyak kasus yang terjadi, interaksi diantara keduanya jika tidak harmonis maka seringkali menimbulkan ketegangan. Bisa terjadi kekuatan formal (lembaga pendamping) menciptakan dominasi atas kelompok sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas mereka. Atau sebaliknya dimana kekuatan masyarakat yang merupakan perwujudan dari suatu tindakan kolektif dari inisiatif dan kreativitas mereka, menuntut terlalu jauh terhadap lembaga pendampingan.

Oleh karena itu untuk menghindari adanya pelampauan batas-batas hubungan interaksi antara kelompok masyarakat dengan lembaga pendamping dirasakan perlunya cara pengelolaan interaksi tersebut yang sejak semula telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Inilah yang menjadikan mengapa perlu adanya Manajemen Pendampingan yang mendasari hubungan antara Kelompok Masyarakat dengan Pendamping atau Lembaga Pendamping.

Adapun Manajemen Pendampingan itu sendiri tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen pada umumnya, yakni adanya : 4 aspek pokok, yaitu :

1. Perencanaan

Didalam perencanaan akan dibuat tahapan pendampingan maupun kegiatan yang akan dilakukan secara bersama, yang dilengkapi dengan batasan waktu, tolok ukur keberhasilan kegiatan serta peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Hal ini sekaligus mecerminkan tingkat partisipasi dan kemandirian kelompok masyarakat sejak awal.

Dengan perencanaan yang baik dan disepakati bersama, maka sejak semula sebenarnya telah diketahui akan adanya batasan dan pengalihan/transformasi dalam proses pendampingan.

2. Memonitoring

Realisasi dari kegiatan yang telah disusun dalam perencanaan hendaknya selalu dipantau (di-monitor) oleh kedua belah pihak (Pendamping dan Kelompok Masyarakat) dari waktu ke waktu secara periodik, sehingga bila terjadi penyimpangan dari yang direncanakan akan dapat diketahui sejak dini. Selanjutnya akan dapat diambil langkah-langkah perbaikan sesuai dengan peran dan tanggung jawab yang telah ditetapkan.

Jadi monitoring bukan hanya dilakukan oleh pendamping terhadap Pokmas (= seperti yang selama ini terjadi), tetapi juga dilakukan sebaliknya.

3. Sistem Informasi

Hubungan antara Kelompok Masyarakat dengan Pendamping atau Lembaga Pendamping perlu dijaga kesinambungannya melalui proses komunikasi diantara keduanya. Hal ini tentunya tidak akan memadai bila hanya dalam bentuk komunikasi verbal, jadi masih perlu didukung oleh sejumlah data atau bukti otentik berupa informasi tertulis, dengan demikian unsur kealpaan atau subyektivitas dapat terhindarkan.

Bentuk-bentuk informasi baik lisan maupun tertulis inilah yang perlu disepakati dan dikembangkan menjadi suatu sistem.

Bentuk informasi lisan yang telah menjadi suatu sistem ialah keharusan adanya pertemuan anggota secara rutin yang wajib dihadiri oleh segenap fungsionaris kelompok maupun pendamping, sehingga masing-masing pihak dapat menerima informasi secara langsung dan terbuka.

Sedang bentuk informasi tertulis sebagai pendukung atas informasi lisan hendaknya tidak dilihat sebagai suatu bentuk pelaporan, karena bagaimanapun hubungan antara Kelompok Masyarakat dengan Pendamping/Lembaga Pendamping bukanlah hubungan atasan-bawaahan.

Untuk itu informasi tertulis yang dibuat lebih merupakan rekaman atas seluruh hasil kegiatan yang telah dilakukan dan umpan balik yang diberikan oleh kedua belah pihak. Dengan informasi yang operasional serta fungsional, maka perkembangan proses pendampingan yang telah berjalan dapat selalu dipantau dan akan menjadi sumber kajian untuk proses pendampingan selanjutnya.

4. Evaluasi

Walaupun pada saat pelaksanaan setiap kegiatan telah dilakukan monitoring yang kemudian diikuti oleh langkah-langkah perbaikannya, tetapi pada saat berakhirnya pelaksanaan suatu kegiatan tetap diperlukan adanya evaluasi.

Sebab dengan evaluasi inilah akan dilihat hasil akhir dari suatu pelaksanaan kegiatan pendampingan dan sejauhmana efektivitas dan efisensi proses pendampingan telah dicapai.

Hasil evaluasi ini sekaligus jugaa akan menjadi dasar dalam menentukan langkah maupun kebijakan didalam proses pendampingan atau perencanaan kegiatan selanjutnya.

Tetapi hasil evaluasi dari berbagai program pengembangan masyarakat dan pengalaman pendampingan selama ini menunjukkan, bahwa aspek Manajemen Pendampingan ini pada umumnya masih lemah. Hal ini disebabkan oleh adanya kekurangan pahaman atau kesalahan dalam mengartikan Manajemen Pendampingan ini.

Oleh karenanya mengubah pandangan yang keliru ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pendamping kelompok masyarakat.


Berbagai METODE PENDAMPINGAN

Beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengembangan Metode Pendampingan, diantaranya ialah :

1. Metode pendampingan dimengerti sebagai suatu proses kapasitasi sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat hingga pada saat yang telah disepakati, kapasitasi bukan lagi unsur yang berasal dari luar kelompok.

2. Lembaga pendampingan yang men-“support” sejumlah pendamping tidak menempatkan diri dalam konsep maupun praktek sebagai atasan dari kelompok masyarakat.

3. Adanya kebutuhan, masalah serta sumber daya yang dapat dikembangkan ditingkat masyarakat, tidak serta merta merupakan sebuah legalitas bagi lembaga untuk berbicara atas nama masyarakat.

4. Konsep pengembangan dari bawah (= bottom-up), secara sepihak sebenarnya telah menjadi semacam pengesahan bahwa masyarakat adalah pihak yang ada di bawah. Konsep Bottom-Up tidak sama dengan partisipasi sejauh masyarakat hanya digerakkan untuk membuat usulan, membuat perencanaan sementara keputusan tetap berada pada sumber di luar masyarakat. Partisipasi harus menyiratkan kemandirian didalamnya dan sebaliknya.

5. Lembaga Pendampingan, bukanlah spesialis di banyak bidang, sejalan dengan tingkat kematangan kelompok dan kompleksitas masalah, sejumlah sumber daya pendampingan baru sebagai mitra usaha kelompok perlu dijajagi dan difasilitasi komunikasinya untuk kepentingan keberlanjutan dan replikasi.

Sering terjadi dalam diskusi, orang mempertentangkan antara metode Bottom Up dengan Top Down. Di satu pihak meyakini bahwa Bottom-Up merupakan metode yang paling ideal untuk digunakan didalam pengembangan masyarakat. Tetapi di lain pihak metode Top Down – lah yang paling efektif sebab akan mempercepat proses pengembangan masyarakat dari pada Bottom-Up yang akan membutuhkan waktu yang lama.

Sebenarnya tidak ada suatu metode pendampingan masyarakat yang dapat dikatakan baku, sebab efektivitas dan efesiensi suatu metode pendampingan akan sangat ditentukan oleh ketepatan didalam penggunaan suatu metode itu sendiri.

Oleh karena itu janganlah tergesa menggunakan metode Bottom-Up apalagi partisipasi kalau memang masyarakatnya belum siap untuk diajak berpikir dan bertindak seperti yang dimaksud dalam metode tersebut. Sebab bukan Bottom-Up atau partisipasi tetapi mobilisasi dan mengatasnamakan masyarakat yang akan terjadi.

Dalam kondisi yang demikian akan jauh lebih baik dan secara obyektif diakui bahwa program pendampingan dibuat oleh orang luar, tetapi untuk diterimanya oleh masyarakat dilakukan melalui proses pemahaman dengan keputusan ada di tangan masyarakat.

Atau sebaliknya, dimana masyarakat sudah mampu berpikir kreatif dan berani mengambil inisiatif tetapi proses pendampingan masih menggunakan metode Top-Down. Tentunya hal ini akan mematikan kreativitas dan menimbulkan daya tolak dari masyarakat.

Demikian pula halnya dengan berbagai metode pendekatan pendampingan yang lain, seperti : Sosial Karitatif, Sosial Ekonomi, Sosio Reformasi maupun Sosio Transformis.

a. Sosio Karikatif, adalah pendekatan yang melihat masyarakat sebagai pihak yang lemah, miskin dan tak berdaya, sehingga perlu dikasihani, diberi bantuan atau santunan dan sebagainya.

b. Sosio Ekonomis, adalah pendekatan yang melihat masyarakat yang lemah, miskin tersebut akaan mampu mengatasi persoalan mereka bila kemampuan ekonomisnya ditingkatkan, misalnya dengan dibantu dalam permodalan, ketrampilan teknis produksi, pemasaran dan sebagainya.

c. Sosio Reformis, yakni lebih melihat masyarakat yang lemah, miskin diakibatkan oleh tidak berjalannya fungsi-fungsi sosial yang ada, seperti kehilangan rasa aman, kehilangan sumber daya akibat bencana alam, peperangan dan sebagainya. Oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah mengembalikan fungsi-fungsi sosial mereka.

d. Sosio Transformis, yakni pendekatan yang lebih melihat masyarakat kecil, lemah dan miskin tersebut sebagai masyarakat yang telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam pergulatan hidup melawan kemiskinan mereka. Jadi mereka itu tidak perlu dikasihani. Mereka hanya perlu diberi motivasi, kesempatan dan pengetahuan serta ketrampilan mereka lebih mampu mengembangkan segera potensi yang mereka miliki.

Dari keempat pendekatan tersebut tidak bisa dikatakan yang satu lebih hebat dari yagn lain dalam hal pengembangan masyarakat yang lemah, miskin.

Sebab bila pendekatan Sosio Karikatif dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan ketergantungan; bila Sosio Ekonomis terus menerus akan menimbulkan sikap materialistis dan bahkan akan memunculkan kapitalis-kapitalis kecil; bila Sosio Reformis yang dilakukan hanya akan berhenti pada kondisi awal tidak ada perkembangan; dan bila Sosio Transformis yang dilakukan terus menerus hanya akan menjadikan masyarakat yang sebatas berani menghadapi kehidupan.

Oleh karena itu berbagai metode tersebut hendaknya dapat dipergunakan secara arif dan selalu mendasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Yang terpenting di dalam penerapan berbagai metode tersebut harus mampu membawa pada proses pengalihan dari pendampingan eksternal menjadi pendampingan internal.

Tidak ada komentar: